Selasa, 03 Januari 2012

Perpisahan Termanis

        Jam terus berjalan, detik terus kulewati, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul  11.00 malam. Tetes air mata ini masih tak bisa kukendalikan. Aku menangis dalam diam. Dibawah kerlipan bintang dan sang rembulan. Teringat sahabatku yang telah lama meninggal. Beberapa tahun yang lalu, saat aku masih duduk dikelas 3 Sekolah Dasar. Sahabatku Yetin, terbaring lemah di rumah sakit. Setiap hari aku datang menjenguknya. Membawa sebuah harapan, agar ia lekas sembuh dan dapat membagi senyumannya padaku.

        Tapi harapan itu seolah sirna. Ketika aku mendengar sebuah tangisan dipojok ruang tunggu, tak kusangka tangisan itu adalah tangisan bude Marni, ibunda Yetin. Tak pernah sekalipun aku melihat bude Marni menangis. Ia yang biasanya ceria dalam menghadapi setiap masalah, sekarang aku melihatnya tersandar lemah dikursi ruang tunggu sambil menangis tersedu-sedu. Aku tak tau apa yang sebenarnya terjadi. Perlahan kudekati bude Marni. Aku tersenyum padanya. Tapi ketika ia menatap mataku, tangisannya makin menjadi. Ia langsung memelukku sambil berulang-ulang menyebut nama Yetin. Aku semakin binggung.

        Apa yang sebenarnya terjadi Tuhan? Aku mencoba terlihat tenang dan memulai pembicaraan. Dengan hati-hati aku bertanya pada bude Marni, “Yetin kenapa bude? Dia baik-baik aja kan? Dia akan sembuh dan bermain bersamaku lagi kan?” tanyaku polos. Sesaat suasana berubah menjadi sunyi. Karena bude Marni belum mau mengucapkan satu jawabanpun padaku. Akhirnya, perlahan-lahan bude menjadi tenang dan menjawab pertanyaanku, “Dokter memfonis Yetin menderita paru-paru basah dan dokter juga berkata bahwa kondisi Yetin sangat lemah, kemungkinan ia tak dapat hidup lebih lama lagi.” Air mataku langsung menganak sungai dipipiku. Aku hanya bisa marah dan menangis.

        Mengapa hal buruk ini terjadi pada sahabatku, Tuhan? Mengapa bukan aku saja? Aku rela mengambil semua rasa sakitnya! berontakku pada Tuhan. Saat itu, aku merasa sangat marah pada Tuhan. Tapi apa daya, tangisan ini tak akan mampu mengembalikan kenangan-kenangan indah yang dulu kulakukan dengannya. Sekarang, hanya ada sebuah tangisan yang begitu menyakitkan. Tak ada lagi senyuman dan tawa yang kulakukan bersamanya. Hanya ada sebuah memori yang masih kusimpan indah dipikiranku.
Petang itu juga aku pulang, karena orang tuaku mengajakku untuk pulang dan beristirahat. Dengan langkah lunglai dan wajah kuyu kami pulang menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Dalam hati aku menyesal, seharusnya aku tak pernah mengukir satu kesedihan pun dihidupnya. Sayang, benar-benar seribu sayang, waktu tak mungkin bisa diulang.
Aku berjalan pulang, sambil terus memikirkan cara terbaik untuk menebus semua kesalahan yang kulakukan dulu kepada Yetin.

        Esok pagi, setelah aku selesai sholat subuh. Tiba-tiba ayahku mendapakan telefon dari orang tua Yetin. Jantungku berdetak kencang, entah apa yang terjadi. Tapi saat itu aku merasa sangat takut.
Ayah menepuk pundakku dari belakang dan berkata, “Nak, Yetin telah tiada, jangan bersedih, do’akan saja semoga ia tenang dialam sana.” lalu mengusap-usap kepalaku. Aku hanya diam, tanpa berucap suatu kata apapun. Aku langsung lari menuju kamar dan menangis tersedu-sedu. Ayah dan ibuku segera menyusuku dan menenangkanku. Kedua orang tuaku mengajakku untuk segera bergegas melayat di rumah Yetin, karena jenazah Yetin akan segera tiba di rumahnya. Sesegera mungkin aku berganti baju dan pergi kerumah Yetin.

        Dari jarak sekitar 20 meter, aku melihat orang-orang begitu ramai di halaman rumah Yetin. Sejumlah tetangga, bapak-bapak, sedang menata kursi di halaman rumahnya. Aku mulai diselimuti perasaan asing saat melihat orang-orang yang memakai pakaian serba hitam.
       
        Ketika mendekat, aku melihat orang-orang yang sedih. Semua tetangga berkumpul di halaman rumah Yetin. Ada perasaan yang sulit kujelaskan, namun ada juga perasaan ganjil yang mengubak hatiku.

“Sabar, ya, Om.” kataku, aku memeluk tubuhnya yang lemah.

“Iya nak, om sudah berusaha tegar menghadapi ini semua.” Jawab ayah Yetin dengan suara setengah parau.

“Bude,” Aku bergegas ke arah bude Marni dengan air mata berlinangan. Aku menggigit bibirku yang gemetaran, lalu memeluknya erat, “Sabar, bude, setiap pertemuan pasti akan berujung pada perpisahan, itulah hidup.”

“Bude sudah berusaha sabar, Nak.” Katanya diakhir isak panjang. Ia menangis dipundakku.

“sabar, bude..” hanya kata-kata itu yang dapat ku ulang. Sambil terus menangis.

        Di bawah tatapan kosong bude Marni, kakiku menyaruk gemetar ke muka pintu. Perasaan sedih dan ganjil itu, makin menguat dalam hati. Orang-orang menatapku dengan tatapan iba.

        ....disanalah aku melihan Yetin, sahabatku.

        Ya, sahabatku, Yetin. Aku melihatnya dalam balutan kain putih yang ditumpangi kain sarung. Seluruh keluarga, sahabat, dan tetangga-tetangga Yetin sudah berkumpul. Mereka menangis.

        Suara orang mengaji. Isak tangis. Aku melihat Yetin dengan wajah yang teduh. Kemungkinan ia tak akan hidup lebih lama lagi.... suara itu menguasai diriku.

         Aku mulai merasakan air mataku leleh, menghangatkan dua tebing pipiku. Kemungkinan ia tak akan hidup lebih lama lagi.... Hanya kata-kata itu yang terdengar dikepalaku.

        Dalam diriku, aku melihat senyum Yetin. Kain sarungnya. Aku mencium bau rambutnya. Setelah itu, aku tak dapat lagi melihat wajahnya. Orang-orang itu membawanya, membawanya pergi ketempat yang begitu asing untukku. Pemakaman, itulah tempat tujuan mereka. Disana aku melihat jasat Yetin. Terkubur oleh gundukan tanah basah itu. Tangisan dan perasaan iba mengiringi kepergiannya..

        Aku hanya bisa menangis dan berdo’a. Semoga Yetin tenang disana. Dan Allah senantiasa menjaga dan melindunginya. Karna aku tak mau, sebuah penderitaan lain menimpa dirinya dialam sana.
Terdiam aku dalam bisu, dibawah indahnya bintang malam ini. Aku kirimkan sebuah senyuman manis untuknya disana, lewat alunan indah do’a yang kulantunkan. “Karena dimana pun kau berada dan setinggi apapun benteng yang memisahkan kita. Percayalah kau akan selalu menjadi sahabat terbaikku. Biarkan senyuman dan tangisan kita menjadi sebuah kenangan seperti potongan klise dalam sebuah kehidupan.”

        Sekarang kuputuskan untuk membingkai indah memori ku bersama Yetin. Aku tidak sekedar akan mengingatmu, Yetin, tapi aku akan mengenangmu. Karena ingatan itu bisa kubuang, tapi aku tak bisa membuang kenangan. Sebab tak semua yang ku ingat akan ku kenang, tetapi semua yang ku kenang tersimpan baik dalam ingatan. Dan sekarang, aku akan memulai kehidupan baru bersama sahabat-sahabatku yang lain. Karena aku yakin, kau akan tersenyum disana, jika melihatku berbagi senyuman dengan orang lain disekitarku. “Terimakasih, telah mengajarkanku arti sebuah persahabatan dan perpisahan, Yetin. Kami semua menyayangimu.”

        Dan teman, inilah hidup dalam arti yang sesungguhnya, hidup adalah soal pertemuan dan sebuah perpisahan, yang akan dirangkaikan menjadi suatu gambaran utuh sebuah kehidupan. Jadi, jangan pernah takut untuk menghadapi suatu perpisahan. Karena sesungguhnya, kalian tak akan pernah benar-benar menjadi manusia, tanpa mengenal sebuah perpisahan.

 SEKIAN 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar